Pages Navigation Menu

Berdaya, Berbudi, dan Berilmu

Ads

Karir Bunda (Bag. 1)

Karir Bunda (Bag. 1)

Perempuan yang sudah menikah biasanya dihadapkan pada dilema memilih untuk tetap bekerja di luar sebagai wanita karier atau mendidik anak di rumah. Sebagian memilih tetap bekerja di luar, dengan ragam pertimbangan, mulai dari membantu ekonomi keluarga hingga alasan kesetaraan gender; bahwa perempuan, serupa dengan laki-laki, memiliki hak yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya.

Pada sisi lain, ada juga yang memutuskan untuk berkarir sebagai ibu rumah tangga. Tetap di rumah menjadi manager yang mengatur kebutuhan suami dan pendidikan anak. Pilihan kedua ini ada yang lahir dari kesadaran sendiri seorang bunda, bahwa inilah pilihan terbaik setelah seorang perempuan setelah menikah, terlebih jika sudah memiliki anak. Atau, bisa saja menjadi ibu rumah tangga bukanlah pilihan suka rela sang bunda. Pekerjaan itu ‘dipilihkan’ oleh keadaan, mungkin karena sulit membagi waktu di luar dan di dalam rumah, mungkin juga absennya restu dari sang suami.

Setiap pilihan tentu punya konsekuensi. Bagi bunda yang bekerja di luar, harga mahal yang harus dibayar adalah berkurangnya waktu bersama anak. Berangkat kerja anak belum bangun dan pulang saat si kecil sudah lelap tertidur. Kalaulah tidak begitu, mungkin kualitas kehadiran bunda untuk anak adalah sisa dari kekuatan setelah seharian bekerja di luar. Akibatnya, kualitas bersama anak tak maksimal.

Bunda, maksimal di luar, lalu sekedarnya di rumah, sakitnya tuh di sini, sambil menunjuk ke dada. Begitu bila boleh meminjam lirik lagu dangdut yang sedang populer saat ini. Karena lelah kadang kita memilih beristirahat, tapi bisa jadi pada saat yang bersamaan si kecil sedang ingin bermain dengan bunda. Alhasil, respon yang kita berikan hanya sekedarnya. Mungkin saat si kecil ingin direspon, jawaban kita pun, sekedar ‘iya’, ‘heeh’, ‘bagus’, atau kadang ‘aduh bunda ngantuk, main sendiri ya’.

Betul, ketika ekonomi menjadi alasan untuk berkarir luar rumah cukup rumit untuk diurai. Pilihan membantu ekonomi keluarga, bagi saya adalah niat mulia, patut diapresiasi. Namun, jika pilihan bekerja hanya karena alasan aktualisasi diri, gengsi, dan sebagainya, mungkin keputusan untuk sibuk di luar rumah masih bisa dipikirkan ulang. Kalau kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dengan suami bekerja sendiri, kenapa tidak bunda mengambil peran lain yang juga tak kalah penting, yaitu sebagai ibu bagi anak dan istri bagi suami. Bukankah itu adalah karir, itu juga sebuah pekerjaan?

Kerja, yang terlanjur melekat dalam pandangan kita adalah melakukan sesuatu dan menghasilkan uang. Bekerja adalah sesuatu yang bukan terkait dengan perihal rumah tangga, misalnya mengatur rumah tangga, medidik anak, dan sebagainya. Bekerja melulu soal karir, karir, dan karir. Itu tak sepenuhnya salah. Tetapi menganggap ibu rumah tangga bukan sebuah karir atau pekerjaan, bagi saya itu sebuah kekeliruan berpikir.

Kekeliruan berpikir ini wajar, sebab selama ini anggapan yang terlanjur masyhur bahwa tugas bunda itu adalah ‘dapur, sumur, kasur’. Padahal, tugas penting bunda di rumah adalah sebagai istri yang mengatur bagaimana rumah tangga seharusnya dikelola, memastikan semuanya berjalan maksimal, mulai dari hal teknis hingga memikirkan pola hubungan yang baik antara seluruh penghuni rumah, demi terwujudnya harmoni. Bunda punya peran penting dalam perkara itu.

Lanjutan Karir Bunda (Bag. 2)

 

Salam Powerful…!

Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org dan http://jujulmaman.blogspot.com

Ads

One Comment

  1. Ehm…

Leave a Reply

%d bloggers like this: