Belajar Dari Kesalahan (Bag. 2 Selesai)

Lalu bagaimana dengan anak yang sudah bisa mengerti, sudah beranjak dewasa, bagaimana dia belajar dari kesalahannya? Serupa dengan anak kecil tadi, anak yang sudah mengerti membutuhkan orang tuanya menunjukkan kesalahannya agar ia tau apa yang keliru dari perbuatannya. Menunjukkan kesalahan berarti memberi pemahaman tentang konsekuensi apa saja yang timbul dari perbuatannya. Dengan itu si anak akan belajar bahwa suatu hari dihadapkan pada persoalan yang sama bagaimana harusnya ia bertindak dan bersikap.
Saya punya pengalaman pribadi soal ini. Dulu saat kuliah S1, ibu saya selalu memberi nasehat agar saya berhati-hati di rantau. Salah satu nasehat beliau adalah tak boleh ikutan berdemonstrasi. Tapi, bukannya mengikuti nasehat, saya justru makin getol ikut aksi, kadang sampai selalu ada di atas bus yang mahasiswa sewa. Dalam pikiran saya waktu itu, resiko yang saya hadapi hanya untuk diri sendiri, bisa saja saya tertangkap, atau saat di atas bus saya terjatuh. Bagi saya itu tak soal, toh saya sendiri yang merasakannya, ibu saya tak tau.
Perintah ibu, saya langgar berkali-kali, semoga ibu saya memaafkan ‘pembangkangan’ ini dan pada Allah saya mohon ampun sudah tak patuh pada orang tua. Sampai suatu hari ibu saya yang tak pernah bosan menasehati soal demonstrasi menelpon dan mengatakan kekhawatirannya, sebab ia menyaksikan di tv memang sedang banyak aksi demonstrasi. Celakanya, waktu itu saya malah membantah dan memberikan alasan ini dan itu.
Dan diakhir perbincangan, ibu saya menutup dengan kata-kata yang itu menyadarkan saya pada satu hal, bahwa akibat yang dari apa yang saya lakukan bukan semata berdampak pada diri saya sendiri, tapi juga bagi orang di sekeliling saya, yaitu keluarga saya, ibu saya. Beliau mengatakan, ‘ya terserah kakak kalau mau masih mau ikut demo. Biarkan mama khwatir dan menangis mikirin kakak’. Dan saya dia tak menjawab apa-apa.
Tugas orang tua, agar anak mampu belajar dari kesalahannya adalah dengan membuka seluas-luasnya dampak dari apa yang ia lakukan. Serupa ketika seorang ayah membukakan dunia anaknya (baca Kehadiran Ayah), ia harus menunjukkan secara jelas. Sehingga anak bisa dengan utuh memahami sebuah peristiwa. Agar anak bisa dengan sadar mengerti maksud sebuah larangan.
Kita patut belajar dari Luqman saat menasehati anaknya untuk tidak menyekutukan Allah yang diabadikan dalam al-Quran surat Luqman [31] ayat 13, ‘Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ Luqman tidak hanya melarang, tapi menunjukkan konsekuensi dari kesyirikan itu dengan menyebut bahwa itu adalah kezaliman yang besar.
Melarang anak untuk tidak melakukan kesalahan yang merugikan dirinya tentu saja harus dilakukan oleh orang tua. Namun, larangan tanpa dibarengi dengan memberi pemahaman yang benar tetang larangan itu hanya membuat anak semakin penasaran dan masih tetap ingin mencoba saat jauh dari pengawasan orang tua. Seperti saya, demonstrasi yang semula hanya merugikan diri sendiri ternyata tidak begitu adanya. Pelarangan ibu saya bukan semata untuk saya, tapi untuk ketenangan hati ibu saya. Dan jika sudah begitu tak ada lagi alasan saya untuk membangkang.
Pun, memarahi secara berlebihan ketika anak berbuat salah adalah sikap tak bijak orang tua. Alih-alih anak mendapat pengalaman berharga dari kesalahannya, ia justru mengaburkan inti dari persoalan yang sesungguhnya. Lebih dari itu bisa jadi anak akan terpuruk dan bahkan putus asa sehingga semakin menenggelamkan dirinya pada kesalahan tersebut. Anak tidak dapat pelajaran apapun dari kesalahannya. Orang tua mungkin kehilangan anaknya. Wallhu ‘Alam Bissawab.
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07 Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org dan http://jujulmaman.blogspot.com
No Comments
Trackbacks/Pingbacks