Pages Navigation Menu

Berdaya, Berbudi, dan Berilmu

Ads

Jujur dan Malu

Jujur dan Malu

Minggu lalu, saya dan beberapa orang sahabat melakukan silaturahim ke beberapa tempat di Banten. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, sampai juga kami di kediaman salah seorang sehabat yang hampir lima belas tahun tak jumpa. Cukup lama kami berbincang, berkisah ini dan itu. Tentang keluarga, tentang kesibukan, tentang segala macam, ada yang serius ada juga yang sekedar guyonan untuk mencairkan suasana.

Setelah cukup puas melepas rindu, silaturahimpun kami lanjutkan menuju salah seorang kiyai, yang juga masih di daerah itu. Kepada sang kiyai, kami berniat menimba ilmu dan meminta nasehat. Setibanya di rumah pak kiyai, kami tak langsung bisa berbincang dengan beliau. Ada banyak tamu yang datang selain kami untuk menemui beliau.

Tiba juga akhirnya giliran kami, setelah menjelaskan siapa kami-kami ini, salah seorang sahabat mengutarakan maksud tujuan silaturahim ini. ‘Pak kiyai, kami datang kemari untuk meminta nasehat tentang bagaimana menjalani kehidupan’, kurang lebih begitu sahabat itu membuka perbincangan. Pak kiyai, dengan senyumnya yang khas kemudian memulai diskusi kami hari itu. Ada dua hal yang sudah mulai terlupakan, bahkan menjadi barang langka dalam kondisi kehidupan saat ini. Pertama, kejujuran. Kedua, rasa malu.

Jujur, menurut pak kiyai ketika apa yang kita ucapkan sesuai dengan apa yang kita lakukan. Apa yang tampak di permukaan, di luar, sama dengan yang tak terlihat atau tersembunyi. Lebih lanjut beliau mencontohkan bahwa berhutang itu tidak jujur, misalnya membeli mobil dari hasil berhutang, seseorang tampak gagah mewah di luar tapi tidak di dalam. Bagi pak kiyai itu tak jujur. Maka nasehat beliau kepada kami untuk sedapat mungkin menghindari hutang.

Saya jadi ingat sebuah ungkapan yang cukup menarik, ‘biar tekor asal kesohor’. Saya dapatkan ini dari seorang sahabat menurut penjelasannya menggambarkan bahwa seseorang rela berhutang untuk melangsungkan hajat besar-besaran pernikahan anaknya meski harus berhutang kesana kemari. Begitulah ia tak mengapa ‘tekor’ asal bisa ‘kesohor’. Meski tak jujur dalam konteks kasus ini ia tak merugikan orang lain, tapi ketidakjujurannya setidaknya membuat ‘repot’ dirinya sendiri.

Menjelaskan perihal yang kedua, yaitu rasa malu, pak kiyai dengan sangat baik memberikan contohnya. Beliau bertanya kepada kami, ‘kalau kamu dipanggil adik terkecilmu, nyaut (merespon) nggak?’, kami hanya senyum dan mengangguk. ‘Tapi bagaimana dengan panggilan Allah setiap harinya (shalat lima waktu) melalui azan, apakah kita langsung nyaut (merespon)?’, tanya pak kiyai dengan senyum khasnya. Kali ini kami bukan tersyum tapi ‘nyengir’ mengangguk-angguk malu.

Membincang perihal malu, saya jadi teringat sebuah hadits diriwayatkan Ibnu Majah dan ath-Thabrani yang berbunyi, ‘Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.’ Malu yang dimaksud tentu saja rasa malu yang muncul ketika kita melanggar perintah Sang Pencipta, melupakan al-Quran dan as-Sunnah. Atau setidaknya sebagaimana kasus yang dicontohkan pak kiyai pada kami, dipanggil Allah (azan) tak langsung nyaut.

Sungguh hari itu perjalanan yang penuh hikmah, dalam perjalanan menuju tempat silaturahim kami yang ketiga, kami mengulang-ulang apa yang kami dapat dari pak kiyai yang bersahaja itu. Sembari saling menertawan diri kami sendiri, sebab betapa kami masih jauh dari sikap jujur dan belum sepenuhnya menjadikan malu  sebagai akhlak yang melekat dalam perilaku kami. Terimakasih pak kiyai untuk nasehatmu, semoga kami bisa mengamalkannya. Wallahu ‘Alam Bissawab

Salam Powerful…!

Julmansyah Putra

Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07
Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org dan http://jujulmaman.blogspot.com
 

Ads

Leave a Reply

%d bloggers like this: