Memarahi Anak

Apakah saya sudah menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak saya? Ataukah sebaliknya, saya adalah orangtua egois yang hanya melihat sesuatu dari sudut pandang orangtua? Pertanyaan ini yang belakangan menghantui saya. Sulit sekali menahan marah saat sang anak tak sesuai ‘maunya’ saya.
Menjadi orangtua egois, bukan hanya tak baik bagi pertumbuhan anak. Orangtua egois akan kehabisan energi, ‘kelelahan’ lahir batin sebab terlalu sibuk ‘mendesain’ anak sesuai maunya. Alhasil, bila tak sesuai harapan, marah menjadi hal tak terelakkan sebagai akibat darinya. Pertama marah pada anak. Kedua marah pada diri sendiri sebab merasa ‘gagal’ mendidiknya.
Pengalaman pribadi, ketika saya marah pada anak lebih disebabkan pada tidak sesuainya apa yang saya mau dengan anak inginkan. Contoh sederhana, anak saya berusia 3 tahun empat bulan, biasanya ketika memandikan sungguh repot dibuatnya. Mulai dari sulit sampoan, gosok gigi, sabunan, sampai susahnya meminta untuk menyudahi mandinya. Penyebab marah itu lebih pada konsep mandi yang saya pikirkan berbeda dengan anak-anak pikirkan.
Bagi saya, mandi harus dilakukan dengan teratur, misalnya pakai sampo, sabun, sikat gigi, dan seterusnya. Sebaliknya, bagi si anak, meski melakukan aktivitas tersebut, namun ia kerjakan dengan caranya sendiri. Gosok gigi semaunya, odol dibuat mainan. Kadang tak ingin memakai sabunnya sendiri, malah minta sabun yang lain. Yang lebih parah, saat bertemu air, biasanya dia memainkannya, sehingga kita pun ikutan basah.
Dan saat saya marah pada perilaku anak. Satu hal yang saya sadari bahwa saya sedang tidak memhami dunia anak. Saya melihat dunianya sebagaimana dunia saya. Konsep mandi yang saya pikirkan berbeda dengan yang mereka bayangkan. Dan karena itu saya marah.
Saat marah apa yang sesungguhnya menjadi penyebab, perilaku anak kita atau persepsi kita tetang perilaku anak kita? Keduanya jelas berbeda, yang pertama, kita marah karena perilaku anak menunjukkan bahwa kita gagal mengontrol kemarahan. Sementara yang kedua adalah soal cara melihat sesuatu. Masalah bukan pada perilaku anak, tapi pada persepsi kita terhadapnya. Saat kita merubah persepsi, maka kita akan bereaksi berbeda. Cobalah!
Maka, ketika sangat ingin meluapkan kemarahan pada anak, penting untuk terlebih dahulu menyadari apa penyebab kemarahan itu. Ada baiknya kita mengambil jarak, pergi menjauh untuk menenangkan diri, jangan sampai kita reaktif sehingga melahirkan respon yang keliru pada perilaku anak kita. Pada saat yang tepat, barulah kita menentukan reaksi yang pantas untuk kondisi tersebut.
Lalu bagaimana, seperti yang masih sering terjadi pada saya, yaitu jika orangtua terlanjur marah? Pada saat yang tepat, kondisi tenang, segeralah meminta maaf. Jelaskan apa yang susungguhnya terjadi, katakan apa yang menjadi ‘maunya’ orangtua, dan tak lupa tanyakan apa yang menjadi ‘inginnya’ sang anak. Peluklah mereka dan berjanji akan saling terbuka untuk apapun yang terjadi di masa yang akan datang.
Apakah ini sulit? Ya, ini tak semudah yang dibayangkan dan seindah yang dituliskan. Namun, rasanya tak ada yang tak mungkin selama mau mencoba. Selamat belajar sepanjang hanyat. Wallahu ‘Alam Bissawab.
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07 Sila berkunjung pula ke http://www.dfq-indonesia.org dan http://jujulmaman.blogspot.com