Surat Laba-laba

Subuh itu, sepulang dari masjid yang tak jauh dari rumahnya, Sulung meraih al-Quran yang tersimpan di atas lemari baju. Perlahan ia buka daftar isi untuk memilih surat apa yang akan dibaca. Sulung memang tak membaca al-Quran secara berurutan, suka-suka dia saja ingin membaca yang mana.
Lama Sulung memilih surat yang ingin dibacanya. Akhirnya keiningtahuannya jatuh pada satu surat yang menurutnya cukup unik. Laba-laba (al-‘Ankabut), demikian nama ayat Allah itu. Kemudian mulailah ia membaca perlahan. Subuh kali ini, perjalanan spiritual Sulung ditemani oleh ‘Laba-laba’.
Kebiasaan Sulung saat mengaji adalah tidak sekedar melafalkan lafaz Arabnya. Setelah membaca satu ayat, lalu ia renungkan pula artinya. Begitu seterusnya sampai selesai. Kadang Sulung berhenti sebentar di satu ayat yang sedang dibaca. Sulung mencoba mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang pernah dilihat atau dengar, atau dengan sesuatu yang ia alami sendiri. Menurut Sulung cara ini cukup ampuh untuk mengolah rasa. Dan ia pun bisa menyadari banyak hal dalam kehidupan ini.
‘Hmmm, namanya doang surat laba-laba, ternyata dari enam puluh sembilan ayat, hanya satu ayat yang bicara soal laba-laba’, gumam Sulung. Ia seperti sedang berpikir mengapa surat ini harus dinamai laba-laba padahal Cuma satu yang membahasnya.
Pembahasan mengenai laba-lama dijumpai Sulung pada ayat keempat puluh satu. Isi ayat ini ingin menggambarkan bahwa orang yang berlindung kepada selain Allah ibarat laba-laba yang membuat sarang. Rapuh! Demikian ayat itu menyebutkan bahwa selemah-lemahnya rumah adalah sarang laba-laba.
Kembali Sulung terdiam merenung. Membayangkan sarang laba-laba. Secara kasat mata rumah laba-laba yang setidaknya begitu yang Sulung ketahui, memang bukanlah bangunan kokoh. Sekali kibasan, sarang laba-laba bisa hancur berantakan. Ia hanya rangkaian jaring-jaring yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga sang laba-laba bisa asik bertengger di sana sambil menanti mangsa yang tersangkut.
Tiba-tiba Sulung tersenyum, tampak sekali dari wajahnya yang malu-malu. Rupanya ia teringat dengan dirinya di masa lalu. Ayat yang kali ini ia baca mengingatkan pada peristiwa beberapa tahun lalu saat ia sedang mengunjungi kekasihnya yang kuliah di sebuah kota berjuluk kota pelajar, Jogjakarta.
Sulung mengulang-ulang membaca arti dari ayat ke enampuluh lima yang berbunyi: ‘Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). QS. Al-‘Ankabut [29]: 65. Setiap kali ia selesai mengulang bacaannya, Sulung tak henti tersenyum dan sesekali menggaruk-garuk kepalanya. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri. Surat itu seolah sedang mengejeknya.
***
Hari itu hari Jumat, Sulung bersepakat berjumpa dengan kekasihnya di Malioboro untuk menjemputnya. Ini kali kedua memang Sulung ke Jogjakarta, namun ini kali pertama untuk perjalanannya sendiri. Sebelumnya Sulung ikut rombongan Tour sekolahnya, jati tak banyak yang ia tau soal kota ini. Setelah makan malam, Sulung pun menginap di kost-an sahabatnya saat sekolah dulu yang kebetulan kuliah di sana.
Tak disangka, kedatangan Sulung di Jogjakarta bersamaan dengan kejadian yang cukup menggemparkan, yaitu gempa dahsyat di tahun 2006. Pagi itu semua orang dikagetkan dengan goncangan besar, tak terkecuali Sulung dan seisi rumah kost tempat ia numpang menginap. Semua berlomba ingin jadi yang pertama keluar rumah.
‘Kami berdesakan di depan pintu untuk beberapa saat, semua ingin membuka slot pintu yang terkunci. Cukup lama sampai pintu itu bisa kami buka’. Sulung mengingat-ingat kejadian mendebarkan pagi itu. Sulung belajar betul pagi itu, ternyata ketika panik hal yang seharusnya mudah jadi susah. Itu terbukti dari sulitnya mereka membuka pintu untuk keluar.
Gempa besar itu diikuti gempa susulan skala kecil, tapi berkali-kali. Beberapa warga tampak masih duduk di halaman depan rumah. Apalagi sulung, ia berhati-hati betul, mungkin takut tertimpa bangunan. Sebab, ia saat mengintip ke dalam rumah yang ia tidur di sana semalam, sudah berantakan. Pun, ada beberapa rumah yang ambruk. Wajar bila Sulung ketakutan. Apalagi ia jauh dari kampungnya. Ia langsung terbayang orangtuanya.
‘soto-soto’, tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan pedagang soto keliling. ‘Alah mak jaaaang, gempa begini masih saja si mas jualan soto’, Sulung berkata dalam hati. Kehadiran tukang soto cukup menenangkan suasana. Beberapa orang yang tadi asik ngobrol satu-satu memesan soto untuk sarapan.
Mula-mula Sulung menolak saat ditawari oleh sahabatnya yang sudah memesan duluan. Sulung masih kaget dengan kejadian pagi ini. Baginya bagaimana mungkin dalam suasana mencekam dia masih sempat makan. Tapi setelah melihat yang lain ikut ‘nyoto’, goyah juga perut Sulung. Akhirnya, ‘mas, soto mas’, teriak Sulung malu-malu. Kemudian diliriknya yang lain tersenyum pada kelakuannya.
Rupanya, masa tenang tak berlangsung lama. Tiba-tiba orang-orang berlarian, motor ‘seliweran’ dengan kecepatan tinggi. ‘Air, air, air’, begitu mereka berlari dan berteriak. Menyaksikan itu, Sulung panik, untuk soto sudah habis disantapnya. Satu hal yang terbayang olehnya adalah peristiwa tsunami Aceh yang pernah meluluhlantahkan bagian Indonesia yang dijuluki Serambi Mekah itu. Wow, ingatan itu semakin menambah rasa takut Sulung. Deg, deg, deg, jantung Sulung berdegup kencang. Wajahnya pucat. Kali ini Sulung benar-benar takut.
Dalam ketakutan yang sangat itulah Sulung begitu ikhlas, begitu pasrah berdoa, ‘ya Allah, jika saya harus Kau panggil di sini, hari ini, saya ikhlas, saya ridho, saya siap’. Tak berhenti Sulung membaca ayat-ayat yang ia hafal, ia ulang-ulang. Hari itu begitu berbeda, Sulung membaca kalam Allah itu dengan begitu khusyu. Dan alhamdulillah, syukur luar biasa, gempa itu tak disertai tsunami.
Pengalaman hari itu menyadarkan Sulung tentang pesan yang tergambar dalam surat ‘Laba-laba’ itu. Gempa Jogja ibarat sebuah kapal yang sedang ia tumpangi. Sulung berdoa, khusyu’, ikhlas, segalanya dipasrahkan pada Allah, semoga selamat selama perjalanan sampai kapal bersandar di darat.
Tapi kadang, setelah ‘aman’ di darat. Ketika gempa ternyata tak ada sunaminya. Sulung melupakan untuk tetap menggantungkan sepenuhnya hidup saya pada Sang Maha Pemberi Pelindung. Sulung sadar bahwa kadang ia telah membangun rumah laba-laba. ‘Astaghfirullahal aziem, pada Allah saya mohon ampun’, ucap Sulung dalam hati.
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07 Sila berkunjung pula ke http://jujulmaman.blogspot.com
Ahayy.. pengalaman pribadi si sulung..
hihihihi, pribadi sulung itu mah, hehe