Surat Untuk Adik

Sejak kecil Sulung sudah merantau meninggalkan kampungnya. Selepas menyelesaikan sekolah dasar, Sulung melanjutkan belajarnya di sebuah pondok pesantren yang jauh dari tempat tinggalnya. Sulung memang memiliki cita-cita, kelak ketika kehidupan dunia sudah berakhir, dia ingin masuk surga.
Berbekal cita-cita itu, Sulung kecil memutuskan untuk memperdalam ilmu agama, khususnya bahasa Arab. Sebab, dalam pikiran Sulung kecil, ketika di alam kubur pertanyaan malaikat menggunakan bahasa Arab, tentu saja penguasaan akan bahasa itu akan mempermudah dirinya menjawab setiap pertanyaan malaikat. Begitu pikir Sulung kecil saat itu.
Hampir seluruh hidupnya Sulung habiskan di perantauan. Untuk pulang kampung pun jarang dia lakukan. Paling-paling satu tahun sekali, ketika lebaran Idul Fitri tiba. Mungkin inilah penyebab kedekatannya dengan keluarga amatlah kurang. Baik dengan orangtuanya atau adik-adiknya.
Pernah Sulung begitu sedih karena merasa bersalah tak begitu akrab dengan keluarganya sendiri, sementara dengan keluarga sahabat-sahabatnya, Sulung bisa begitu dekat, bahkan seperti keluarganya sendiri. Pernah juga Sulung yang seolah tampak tegar itu mengangis tersedu karena itu.
***
Bukan karena tak sayang, Sulung adalah anak yang begitu menyayangi orangtua dan adik-adiknya. Hanya saja, dia tak begitu pandai berkomunikasi kepada keluarganya sendiri. Itu berbanding terbalik jika komunikasi dilakukan pada orang lain. Sulung tipe orang yang bisa cepat akrab dengan orang lain. Tapi entahlah kenapa sulit dilakukannya pada keluarga sendiri. Itu yang sering membuat Sulung bersedih.
Untuk sekedar menyatakan perasaannya pada keluarga, Sulung sering menuangkan lewat sebuah tulisan yang kemudian diunggahnya di media sosial, dengan harapan, orangtuanya membaca atau adik-adiknya juga tau isi hatinya lewat tulisan itu. Setidaknya itulah cara Sulung mengkomunikasikan perasaanya kepada keuarga.
Pernah suatu hari Sulung kebingungan bagaimana caranya mengajak adik-adiknya untuk lebih memperhatikan orangtuanya, lebih memprioritaskan kebahagiaan mereka, dan membuat mereka merasa bangga memiliki anak-anak seperti Sulung dan adik-adiknya. Maka, Sulung menulis sebuah surat yang diupload di media sosial miliknya.
Sebuah harapan untuk kita; kakak dan adik-adikku tersayang, tulis Sulung sebagai pembuka kata suratnya dan kemudian paragraf demi paragraf ditulisnya:
Adik-adikku,
Adalah sebuah kepastian bahwa ketika mama melahirkan kita penuh dengan perjuangan bercampur bahagia. Adalah sebuah kenyataan bahwa papa dan mama mendoakan kita; kakak, ayuk, dan adek, dengan permohonan yang baik, agar kita menjadi anak yang sholeh dan sholehah, agar kita pantas untuk dibanggakan oleh mereka.
Harapan papa dan mama bukan sekedar ucapan yang menjadi doa-doa mereka ketika kita terlahir ke dunia. Munajat itu diwujudkan dalam kegigihan mereka mengurus dan membesarkan kita. Kita diberi kasih sayang yang sungguh tiada bandingnya, kita diberi pakaian, diberi pendidikan, kadang diberi apapun yang kita minta, meski kita tak pernah tau bagaimana mereka mendapatkan uang untuk sesuatu yang kita inginkan. Kita hanya mau tau bahwa kita minta ini dan itu.
Demi membahagiakan kita, kadang mama dan papa menunda dan bahkan mengubur keinginan-keinginan pribadi mereka. Mama dan papa mendahulukan apa yang menjadi keinginan anak-anaknya. Kita sering mengeluh jika saja permintaan kita tidak terpenuhi, kita sering bilang mama dan papa tidak sayang pada kita, padahal keinginan mereka sendiripun mereka kesampingkan, hanya untuk memenuhi kebutuhan kita. Dan kita tak mau tau itu.
Papa dan mama sudah memberikan hidupnya untuk kita, seluruh hidupnya, ya segalanya. Lalu apakah kita sudah bersungguh-sungguh berusaha untuk membalas jasa-jasa papa dan mama. Atau malah sebaliknya? Semoga tidak begitu.
Adik-adikku,
Kini kita sudah besar, kakak sudah menikah, ayuk juga sudah menikah, dan adek bungsu sedang mempersiapkan masa depannya. Mama dan papa sudah lebih banyak berdua-dua saja di rumah, semenjak kita memutuskan untuk pergi merantau menuntut ilmu ke tempat lain. Kaka pergi ke sebrang, ayuk dan adek ke pusat ibu kota provinsi. Kita hanya menyempatkan diri pulang dan berbagi cerita ketika masa liburan tiba.
Momentum itu mungkin berlangsung sangat singkat, kadang kita tidak menggunakannya secara maksimal untuk saling mengerti satu sama lain. Kita masih lebih banyak sibuk dengan urusan kita sendiri, kita kadang tak perduli mama dan papa, bahkan tak mau tau bagaimana perasaan mereka.
Kita memang bersama saat liburan, tapi sesungguhnya kita tetap sendiri-sendiri tanpa peduli satu sama lain. Kita cuek, kaka kadang merasa sangat bersalah, oleh sebab tidak pernah tau kondisi ayuk dan adek, kakak tidak mau bertanya kesibukan dan apa yang menjadi cita-cita adek-adek kakak ini. Kaka belum melakukan tugas sebagai seorang kakak. Kakak sedih, kaka mereasa bersalah.
Adik-adikku,
Seharusnya kaka tau kondisi adek-adek kakak. Seharusnya kakak mengajak ayuk dan adek untuk saling kompak dalam membahagiakan mama dan papa. Kita harus membahagiakan mama dan papa, sebab cuma itu cara yang paling mungkin bisa kita lakukan untuk mengganti dan membalas kasih sayang mereka sejak kita kecil.
Atau paling tidak, kita harus buktikan dalam tindakan kita, bahwa kita bisa menjadi orang yang sukses, bisa menjadi kebanggaan papa dan mama. Bagaimana caranya, itu yang perlu kita bicarakan bersama, kaka juga belum tau bagaimana caranya.
Mungkin hanya dengan membuat mereka bahagia, membuat mereka tersenyum, membuat mereka tidak khawatir tentang kita, mungkin itu cukup. Seperti kakak, walau sudah menikah dan punya anak, papa dan mama masih saja selalu khawatir dengan kondisi kakak, walau kadang kekhawatiran itu kita anggap berlebihan.
Tapi kakak belakangan baru juga merasakan, bagaimana mengkhawatirkan anak. Kakak baru mengerti bagaimana menjadi orangtua. Ternyata kekhawatiran itu sungguh wajar, hanya kita saja yang belum bisa menyikapi dengan cara yang tepat. Bahkan lebih banyak merasa kesal dan marah saat kita diperhatikan.
Kesalahpahaman ini yang juga menjadi kegelisahan kakak, mungkin juga ayuk dan adek juga pernah merasakannya. Pernah kita bilang ‘lebay’ ketika mama atau papa terlalu khawatir tentang kita? Ya, kita selalu begitu. Kita hanya perlu merespon dengan cara yang tepat, dengan cara yang tidak memperbesar kekhawatiran mereka, yang perlu kita lakukan adalah meyakinkan bahwa kita baik-baik saja dan bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan di luar sana. Kita belum melakukan itu, kita lebih sering marah dan tak mau mendengar mama dan papa. Pantaskah itu?
Adik-adikku,
Kita sadar bahwa apa yang kita lakukan terhadap mama dan papa itu keliru dan kurang pantas dilakukan oleh kita sebagai anak-anak mereka. Kakak mengajak ayuk dan adek untuk berpikir ini, kaka ingin kita bersama-sama membahagiakan mama dan papa.
Jangan biarkan setetes air mata pun jatuh ke pipi mereka, jangan biarkan kepala mereka tertunduk malu oleh tindakan-tindakan dan ketidakberhasilan kita, jangan biarkan mereka mengeluh menjadi orangtua yang gagal mendidik kita, jangan biarkan senyum mereka hilang oleh karena menghawatirkan keberadaan kita.
Kita adalah anak-anak papa dan mama. Kita harus menjadi kebanggaan mereka. Semoga ini bisa kita laukan bersama-sama. Kakak sayang kalian, tulis Sulung dalam penutup suratnya. Dan Sulung tak behenti menangis sepanjang menulis surat itu, tangisnya pun berlanjut ketika berulang dia membaca isi surat yang ditulisnya.
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra
Ingin berbincang lebih lanjut, silahkan follow twitter saya di @julmansyah07 atau di facebook Julmansyah Putra