Pembicara! Jangan Lakukan 3 Hal Ini

Berhasil menyampaikan informasi dan menginspirasi audiens dengan baik adalah harapan semua pembicara. Apalagi jika audiens tergerak untuk mengamalkan yang sudah dipelajari. Itu sebuah kebahagiaan bagi pembicara. Sayangnya, ada beberapa pantangan yang seringkali dilupakan dan tanpa sadar dilakukan oleh pembicara, sehingga niat baik memberi informasi dan menginspirasi justru menjadi kurang maksimal hasilnya. Berikut ini tiga pantangan yang harus dihindari oleh seorang pembicara, simak terus yuk.
Pantangan pertama, jangan nafsu. Salah satu ‘penyakit’ pembicara yang sering kali tidak disadari adalah ingin menyampaikan banyak hal dalam satu waktu yang terbatas. Alih-alih maksud baik untuk memberi informasi selengkap-lengkapnya, yang terjadi justru audiens kesulitan memahami informasi. Seperti gelas yang sudah penuh, tapi terus diisi, justru airnya akan luber kemana-mana.
Pembicara, bijaksanalah. Ingat, audiens itu bukanlah anda yang sudah sangat menguasai topik yang disampaikan. Berilah audiens waktu untuk memahami tiap informasi. Sikap bijaksana pembicara membuat suasana belajar lebih nyaman dan santai, sebab pembicara tak perlu terburu-buru menyampaikan materinya. Pernah ikut presentasi dan pembicaranya keseringan bilang, ‘next, next, next’, untuk menggeser slide powerpointnya? Nah itu salah satu contoh pembicara yang terlalu ‘nafsu’ menyampaikan semua materi dalam waktu yang terbatas.
Pantangan kedua, jangan egois. Pembicara yang egois seringkali mengabaikan gaya belajar audiens. Bobbi DePorter dalam bukunya Quantum Learning membagi tiga gaya belajar, dikenal dengan VAK (visual, auditori, dan kinestetik). Setiap audiens, tentu memiliki ketiganya namun dalam kadar yang berbeda. Setiap audiens biasanya memiliki satu yang menjadi gaya belajar utamanya.
Audiens yang memiliki gaya belajar visual lebih cepat menangkap informasi dengan cara melihat gambar, grafik, video dan tampilan visual lainnya. Jika anda menggunakan powerpoint, maka desainlah slide dengan prinsip-prinsip visual yang benar, bukan sekedar mendekorasinya dengan menambahkan hal yang tidak terkait dengan pesan yang ingin disampaikan ke dalam slide.
Berbeda audiens yang cenderung auditori, mereka mengandalkan indera pendengar untuk belajar. Pembicara yang baik bisa ‘memuaskan’ audiens auditori dengan memperhatikan intonasi suaranyanya. Berbicaralah dengan nanda yang berayun, jangan hanya datar dan monoton. Bisa juga dengan memutarkan instrumen agar suasana belajar semakin nyaman.
Sementara audiens yang memiliki gaya belajar kinestektik tidak betah berlama-lama berdiam diri sekedar melihat atau mendengar. Mereka butuh bergerak dalam aktivitas belajarnya. Tentu pembicara perlu menyesuaikan dengan keadaan dan konteks acara. Pada kondisi tertentu pembicara bisa sekedar meminta audiens melakukan gerakan tangan atau anggota tubuh lainnya dengan sewajarnya.
Cara terbaik ‘memuaskan’ gaya belajar audiens yang beragam adalah dengan menggunakan metode belajar yang bervariasi. Kurangilah menggunakan metode sejuta umat, yaitu ceramah dulu, ceramah lagi, dan ceramah terus.
Pantangan ketiga, jangan ‘berbohong’. Bagi saya, bagian ini yang tersulit. Pembicara harus menjadi pribadi yang jujur dalam dua hal; pertama jujur terkait kebenaran isi materi dan kedua jujur dalam pengamalannya. Kejujuran yang pertama ketika pembicara tampil bicara. Sedangkan yang kedua adalah pengejewantahan dari apa yang dibicarakan. Pembicara yang jujur selalu berikhtiar mempertemukan kata dan perbuatan.
Kejujuran seorang pembicara bukan hanya saat di atas panggung, tapi juga dalam kesehariannya mengamalkan apa yang dikatakan. Pembicara yang jujur akan sangat menjiwai ketika menyampaikan presentasi, sebab yang dikatakan adalah yang dilakukan. Itu pulalah yang membuat ajakannya berenergi, memiliki daya tarik yang akan menggerakkan audiens untuk turut mengamalkan apa yang pembicara sampaikan.
Itulah tiga pantangan seorang pembicara. Pantangan yang pertama dan kedua, merupakan pengetahuan teknis yang lebih mudah dipelajari dan dihindari. Berbeda dengan yang ketiga, pembicara membutuhkan kesadaran, komitmen, dan konsistensi. Inilah bagian yang tersulit, terutama bagi saya. Tapi bukan berarti menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berbagi inspirasi. Bagaimana menurut kamu?
Salam Powerful…!
Julmansyah Putra
Yuk lanjut silaturahmi di instagram @motivapicture dan di facebook Julmansyah Putra